Pages

Kamis, 20 September 2012

KATA ORANG GILA

     ORANG GILA BERKATA

Tulisan ini adalah pembahasan lebih mendalam terhadap tulisan saya yang sebelumnya, yang berbicara soal Penjajahan budaya lewat Kecoa – Kecoa penghibur.  Dalam tulisan tersebut  pada dasarnya saya mencoba menggambarkan subuah realitas dimana penjajah budaya dengan luwes dilakoni oleh Imprealisme dan sekaligus, tulisan ini merupakan suatu bentuk pengamatan terhadap kedangkalan pemikiran dan pemahaman akan penjajahan Imprealisme yang sebenarnya menghalalkan berbagai macam cara, salah satunya lewat usaha – usaha Homogenisasi Budaya atau sederhanya Penjajahan lewat Budaya.  Mungkin ada baiknya kita mengetahui dulu apa itu Imprealisme. Imperialisme adalah tahapan tertinggi dan yang terakhir dari sejarah perkembangan kapitalisme. Karena setelah Abad ke-20, monopoli mendominasi segi-segi ekonomi dan politik di dalam masyarakat secara utuh di negara-negara kapitalis besar. Alat-alat produksi maupun kapital uang dikontrol oleh segelintir kapitalis monopoli. Dalam prakteknya saya pikir kita semua tahu bahwa Negara – Negara mana saja yang saat ini bertindak sebagai pemain atau bisa kita sebut sebagai Imprealis.
Dengan tiga watak aslinya yaitu Ekspolitasi, Ekspansi dan Akumulasi, meraka melakukan penjajahan lewat berbagai cara, dan tak terkecuali budaya. Dalam pembahasan kali ini mari kita intip penjajah yang mereka lakukan lewat budaya, yang pada dasarnya tanpa kita intip sekalipun mereka sendiri sebenarnya telah sedemikian vulgar dan tak tahu malu, mempertontonkan kejahatan dan kemaluan mereka dengan sendirinya.
Pada tahun 2000 sekitar bulan Februari, kurang tau tanggal berapa, James Petras, angkat bicara soal Imprealisme Budaya. Beliau menegaskan bahwa “Pada dasarnya Imperialisme budaya yang dilakukan oleh Negara – Negara sekelas AS, mempunyai 2 tujuan, yaitu ekonomi dan politik, semua itu dilakukan untuk menguasai pasar bagi komoditi budayanya dan untuk membangun hegemoni dengan cara merusak/memandulkan kesadaran rakyat. Ekspor komoditi yang berbentuk hiburan (entertainment) adalah salah satu sumber terpenting bagi pemupukan (akumulasi) modal dan laba secara global, menggantikan ekspor produk manufaktur”. Di bidang politik, imperialisme budaya memainkan peran utamanya dengan cara memisahkan rakyat dari akar budaya dan solidaritas tradisionalnya, dan kemudian didukung atau digusur oleh media yang menciptakan terjadinya perubahan kebutuhan melalui kampanye besar-besaran. Dampak politik dari pemisahan rakyat dari kelas tradisional dan ikatan masyarakat/sosialnya, adalah tercerai berainya hubungan antar individu (pengembangan individualisme). Imperialisme budaya menekankan segmentasi kelas pekerja : pekerja tetap didorong untuk memisahkan diri dari pekerja lepas yang pada gilirannya akan memisahkan diri dari para penganggur. Kemudian didorong pula terjadinya segmentasi diantara mereka dalam apa yang disebut “ekonomi bawah tanah” (underground economy). Imperialisme budaya mendorong pekerja untuk menganggap perbedaan antara mereka dengan “kelas” yang di bawahnya bukan sebagai akibat dari ketidak adilan, melainkan sebagai bagian dari hirarki dalam gaya hidup atau bahasa kerennya “way of life”, ras, maupun citra/derajad.

Sasaran utama imperialisme budaya adalah eksploitasi politis dan ekonomis terhadap generasi muda. Hiburan (entertainment) dan iklan imperialis ditujukan kepada generasi muda yang sangat rentan terhadap propaganda komersial. Pesan yang terkandung di dalamnya sangat sederhana dan langsung, yaitu “modernitas” yang diarahkan pada mengkonsumsi produk media. Generasi muda mewakili konsumen utama dari pasar ekspor budaya AS maupun Negara – Negara besar yang mencontoh cara ini, dan anak – anak muda tadi, mereka semua memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menerima propaganda individualistik-konsumeristik tersebut (Sebenarnya ini yang paling menyedihkan).

Pada dasarnya Imperialisme budaya difokuskan kepada generasi muda, tidak saja sebagai pasar, melainkan juga karena alasan politis, yaitu untuk mencegah ancaman politis dimana pemberontakan individu dapat menjadi revolusi politis melawan bentuk-bentuk pengendalian dan pengawasan terhadap ekonomi dan budaya. Selama beberapa dekade gerakan-gerakan progresif menghadapi suatu paradox, yaitu ketika sebagian terbesar rakyat di Negara ini mengalami kemerosotan standar hidup, peningkatan rasa tidak aman baik secara individu maupun keseluruhan masyarakat, dan kerusakan serta penurunan kualitas fasilitas layanan public, disisi lain terdapat minoritas warga masyarakat yang kaya hidup dalam kemewahan yang tidak pernah dialami sebelumnya. Dan pada akhirnya, kitapun menyaksikan sebuah realitas dimana respons terhadap kondisi kehidupan semacam ini hanyalah bersifat perlawanan atau “revolusi” sporadis meski berkelanjutan, namun yang bersifat lokal dan protes dalam skala besar hanya secara insidental saja. Secara singkat dapat dikatakan bahwa terdapat kesenjangan yang mencolok antara meningkatnya ketidak-adilan dan kondisi sosial-ekonomi di satu pihak, dengan kelemahan dari perlawanan revolusioner atau radikal di lain pihak. Kematangan kondisi obyektif di Negara ini maupun secara umum di Negara – negera bagian Dunia Ketiga tidak dibarengi dengan tumbuhnya kekuatan-kekuatan subyektif yang mampu melakukan transformasi masyarakat atau negara. Jelaslah bahwa tidak ada hubungan langsung antara kemunduran sosial-ekonomis dengan transformasi sosial-politis. Intervensi budaya (dalam pengertian yang luas termasuk ideologi, kesadaran dan aksi sosial) merupakan mata rantai yang penting dan kritis (krusial) dalam mengubah kondisi-kondisi obyektif menjadi intervensi politik yang sadar.

Aku pikir sudah saatnya kita menyadari bahwa Dominasi kultural merupakan dimensi integral dari setiap sistem eksploitasi global yang berkesinambungan. Dalam kaitannya dengan eksistensi Negara ini, imperialisme budaya dapat didefinisikan sebagai penetrasi dan dominasi yang sistematik terhadap kehidupan kultural kelas-kelas masyarakat/rakyat oleh kelas penguasa Barat dalam rangka membentuk tata nilai kehidupan, perilaku, institusi, dan jati diri rakyat yang ditindas agar memenuhi kepentingan kelas-kelas penjajah. Imperialisme budaya telah menerapkan baik bentuk “tradisional” maupun bentuk modern budaya mereka dalam tatanan social masyarakat kita. Maka jangan heran jika saat ini, Media massa, penerbitan, iklan dan artis-artis dunia serta para intelektual telah memainkan peran utama di masa kini. Di dunia kontemporer, Hollywood, CNN, dan Disneyland jauh lebih berpengaruh dari pada Vatican, Injil, Al-Quran atau retorika publikatif dari tokoh-tokoh politik. Kesenjangan pun makin melebar antara janji-janji perdamaian dan kesejahteraan di bawah kekuasaan modal dan pasar bebas dengan kenyataan meningkatnya kemiskinan, kekerasan, dan kemeranaan. Ditengah kondisi semacam ini, dan media massa, alih – alih mengabarkan suatu bentuk keboborokan, media massa malah berusaha untuk mengaburkan kesenjangan tersebut bahkan mengembangkan lebih lanjut kemungkinan tentang alternatif perspektif ke depan dalam program-programnya.

Atas nama individualitas, kebebasan dan kesejahteraan, ikatan sosial “diserang” dan personalitas dibentuk melalui indoktrinasi media massa. “Mereka tertawa dan kita akan tetap tersenyum dalam ketidak mampuan kita dan kemudian mengatakan bahwa mereka adalah segalanya” itu yang kusaksikan hari ini, dimana jutaan kawan – kawanku melakukan sebuah bentuk penyembahan dan sanjungan terhadap Budaya maupun keindahan yang ditawarkan oleh media – media massa, baik dalam maupun luar negeri.

Namun suatu bentuk perlawanan tidak harus berhenti saat kita telah dipaksa tiarap. Pada dasaranya ada keterbatasan kemampuan imperialisme budaya dalam menipu dan mempesona rakyat. Program televisi yang menyajikan kemewahan sangat kontras dengan “dapur yang tidak mengepulkan asap”, khayalan yang romantis dan sensual yang dijual oleh media massa, rontok dan sirna menghadapi kenestapaan dan jerit kelaparan anak-anak. Dalam “pertempuran” di jalan-jalan, Coca Cola malah dijadikan bom molotov. Janji kemewahan hidup menjadi pelecehan bagi mereka yang secara konsisten menolak. Proses pemiskinan yang berkepanjangan dan kebobrokan yang luas menyapu bersih pesona atau iming-iming kemewahan impian yang dijual oleh media massa. Janji-janji palsu imperialisme budaya menjadi obyek olok-olok yang getir dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat lain. Pesona imperialisme budaya dibatasi oleh ikatan kolektivitas yang memiliki ketahanan – lokal dan regional – yang mengandung nilai-nilai dan praktek tersendiri. Apabila ikatan-ikatan kelas, ras, gender dan etnik, serta gerakan kolektif menjadi kuat dan memiliki ketahanan, pengaruh media massa akan dipangkas atau ditolak. Apabila budaya dan tradisi yang sudah ada memang kuat, maka akan terbentuk suatu “lingkaran tertutup” yang mengintegrasikan kegiatan sosial dan budaya yang ber-orientasi ke dalam dan ke bawah, tidak ke atas dan keluar. Itu yang harus kita sebar luaskan saat ini kawan. Mengembalikan kembali panggung – panggung media ketangan rakyat dengan budaya dan karakter yang kita miliki.!

Kesimpulannya adalah Dewasa ini, Citra pribadi Imprealisme dengan medianya berusaha menutupi pembantaian massal oleh negara seperti halnya retorika teknokratik digunakan sebagai dalih untuk membenarkan adanya senjata pemusnah massal yang disebut “bom pintar” atau “intelligent bombs” di Irak pada tahun 2003. Imperialisme budaya dalam era “demokrasi” memang selalu memalsukan kenyataan di negara penjajah sebagai alasan pembenaran atas tindakan mereka dengan cara memutar-balikkan korban menjadi agresor dan agresor menjadi korban. Di Panama, ketika imperialis AS membom komunitas buruh, imperialis AS dan media massa membentuk citra bahwa Panama adalah sumber narkoba yang mengancam generasi muda di AS. Demikian juga halnya dengan pengalaman EL Salvador dan Guatemala dalam tahun 1980-an, pemerintahan Sandinista di Nicaragua dalam tahun 1980-an dan Chile di bawah Allende tahun 1970-an, serta kasus Uruguay dan Argentina dalam tahun 1970-an dan tahun 1980-an di bawah rezim militer.

Realitas ini adalah bentuk pembodohan massal yang coba disuntiikan dikepala kita agar bangsa ini tetap menjadi bangsa kuli dan Generasinya tetap Bangga menjadi Konsumen Abadi yang siap bersujud dibawah kaki Pemodal dan bersorak – sorai histeris menyaksikan Kecoa – Kecoa Penghibur Semacam Boy Band Asal Korea maupun Bangsa – bangsa lain yang kemudian berusaha menyama – nyamakan diri untuk menjadi seperti mereka. Mereka seperti orang gila yang melupakan budaya dan karakter bangsa bahkan karakater pribadinya dan kemudian berkata bahwa itu bukan soal. Inilah yang kusaksikan di Negriku saat ini. Dan untuk semua ini, Bukan saatnya kita masih terlelap, hapuskan perasaan terlenamu, saatnya kita bangkit dan melawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar